Rumah yang Menjadi Ruang Publik

27891185_149474915763193_4301532003188080640_n(1)

Foto di atas saya temukan ketika bongkar-bongkar lemari untuk mencari suatu dokumen yang sedang saya butuhkan. Saya ingat, foto itu diambil ketika saya masih duduk di bangku SMA dengan kamera poket yang masih analog. Ya, waktu itu kamera digital belum populer (Duh, ketahuan deh generasi tahun berapa). Maka, dengan alasan untuk mengabadikan kenangan, saya potret ulang foto tersebut dengan ponsel saya agar bisa mendapatkan file dengan format digital-nya, sehingga nanti kalau-kalau foto itu rusak saya masih tetap punya soft file-nya.

Lokasi pengambilan gambar di foto itu adalah di kamar saya. Kebetulan salah satu orang yang ada di foto itu sedang membawa kamera digital (saya lupa siapa) dan kebetulan sisa rol filmnya masih banyak. Jadilah kita main wefie-wefie-an dengan mode timer. Duh, memang Jaman dulu memang jauh beda dengan sekarang ya ? Untuk sekdar bisa main selfi dan wefie saja harus nunggu punya sisa roll film. Biasanya orang membeli roll film itu jika ada momen-momen khusus semisal liburan atau acara keluarga yang sangat penting. Kamera pun tidak semua orang punya. Jadi, begitu acara khususnya selesai dan roll film masih bersisa, ya dihabiskan untuk foto-foto bebas saja.

Dari foto ini pula saya jadi teringat kalau dulu rumah saya bisa dikatakan sebagai “ruang publik” untuk teman-teman saya.  Setiap hari pasti ada teman saya atau kakak saya yang main ke rumah, entah itu teman sekolah ataupun teman di sekitar rumah. Saking seringnya, mereka sampai-sampai sudah tidak sungkan lagi dengan semua anggota keluarga saya di rumah. Begitu mereka bertamu ke rumah saya, orang-orang rumah langsung menyuruh mereka ke kamar saya. Ya, kamar saya pun akhirnya juga menjadi kamar publik untuk teman-teman saya.

Jika mereka sedang bertamu dan saya tidak ada di rumah, mereka juga langsung masuk kamar untuk menunggu saya pulang sambil menyetel tape yang ada di rumah saya. Oh ya, salah satu alasan teman-teman saya suka main ke rumah saya adalah karena saya punya banyak koleksi kaset berbagai aliran musik dan juga beberapa majalah-majalah musik. Ada juga gitar dan beberapa alat musik lain, yang membuat mereka tak akan mati gaya kalau main ke rumah saya. Di tambah lagi, semua anggota keluarga sangat tidak keberatan mereka berlama-lama ada di rumah saya, bahkan sering juga menginap. Pada akhirnya teman-teman saya pun akhirnya akrab dengan keluarga saya, sehingga mereka semakin tidak ada rasa sungkan lagi ketika bertandang ke rumah. Mereka juga tak canggung lagi untuk mandi di rumah saya atau ikut makan bersama keluarga saya.

Jika malam minggu saya sedang tidak ada acara keluar (dan seringnya emang gak keluar juga sih) , rumah saya pun penuh diisi dengan teman-teman saya. Kalau kamar sudah tidak cukup karena yang datang terlalu banyak, maka tape compo dan gitar saya bawa keluar teras. Di teras itu kita biasa nyetel musik dari tape compo, gitar-gitaran gak jelas, atau main kartu remi sampai pagi. Maka, tak heran jika hari minggu saya penuh dengan aktivitas tidur berkepanjangan karena malamnya begadang sampai pagi. Saya yakin, teman-teman saya juga melakukan hal yang sama di rumahnya masing-masing. Mungkin di antaranya ada yang diomeli emaknya masing-masing lantaran seharian kerjanya hanya tidur saja.

***

Ketika kuliah, saya jarang pulang ke rumah. Kalaupun pulang biasanya akan sangat malam sekali. Sejak itu pula, saya sudah lost contact dengan teman-teman saya yang sering ke rumah. Apalagi di pertengahan semester, saya memutuskan untuk nge-kos saja, karena lumayan lelah juga setiap hari harus pulang pergi dari rumah ke kampus yang jaraknya sangat jauh itu. Terlebih saat itu saya belum punya motor, dan harus naik angkutan umum. Rasanya semua tenaga saya terkuras di perjalanan setiap harinya.

Sebelum memutuskan untuk kos, kalau  aktivitas di kampus sampai malam hari, saya sering nginep di rumah teman-teman kuliah saya yang kebetulan rumahnya di Surabaya. Sering juga numpang tidur di kos teman-teman saya yang ada di sekitar kampus. Jadilah baju dan sikat gigi saya bertebaran di beberapa tempat kos dan rumah teman-teman kuliah saya. Di fase ini, saya merasakan betapa roda kehidupan memainkan perannnya dengan baik. Dulu rumah saya dijadikan tempat jujukan teman-teman untuk berkumpul sampai nginep bersama, sekarang saya yang sering njujuk  ke rumah atau tempat kos teman-teman kuliah saya.

Pada akhirnya saya pun jadi akrab dengan keluarga dari teman-teman yang sering saya inapi rumahnya. Begitupula dengan tetangga-tetangga kos teman-teman saya, mulai saya kenal satu per satu. Saya lumayan percaya dengan hukum tanam tuai. Saya sempat berpikir, bagaimana jadinya jika dulu saya tidak welcome terhadap teman-teman saya yang main ke rumah, mungkin ketika kuliah, saya juga tidak akan mendapatkan keramahan ketika harus menumpang ke rumah atau tempat kos teman-teman kuliah saya.

Tidak semua keluarga bersedia merelakan rumahnya untuk jadi jujukan bagi banyak orang. Tidak setiap orang dengan mudah mempersilakan orang lain keluar masuk dengan bebas di dalam rumahnya. Biasanya, keluarga yang rela rumahnya dijadikan tempat mampir banyak orang adalah  keluarga yang skill bersosialisasinya sangat bagus. Entah kenapa saya sempat menginginkan memiliki keluarga yang seperti ini kelak. Saya juga sering berpikir bahwa nanti ketika sudah berumah tangga sendiri, saya pun ingin agar rumah saya terbuka bagi banyak orang yang mampir. Tetangga-tetangga tak perlu sungkan ketika harus bertamu. Begitu juga dengan anak-anak di sekitar rumah, boleh bebas bermain di dalam rumah dengan anak-anak saya kelak.

Pikiran seperti itu semakin kuat ketika saya bertugas di gerakan Indonesia Mengajar dan bertemu dengan keluarga Pak Tumar, yang pernah saya ceritakan juga di sini. Rumah mereka selalu terbuka untuk siapapun yang bertamu dan menginap di sana, mulai dari anak-anak sampai orang-orang tua. Selama saya mampir ke rumah Pak Tumar, tak pernah sekalipun mendengar mereka keberatan dengan saya dan teman-teman tugas saya yang bertamu dan menginap di sana. Saya juga sering menyaksikan keluarga Pak Tumar tak pernah kesusahan untuk meminta bantuan jika mereka mengalami masalah. Pernah suatu ketika ruangan dapur mereka yang masih berdinding kayu mengalami kerusakan karena cuaca yang tidak ramah. Tak membutuhkan waktu yang lama, tiba-tiba saja tetangga-tetangga mereka langsung turun tangan untuk membantu memperbaiki. Tak hanya memperbaiki, bahkan para tetangga juga patungan untuk membuatkan ruang dapur baru yang berdinding tembok.

***

Bayangan saya tentang rumah seperti di atas, belakangan sedikit mengalami perubahan. Saya lebih suka kondisi rumah yang privat dan tidak terlalu banyak orang yang bertamu. Mungkin ini disebabkan karena sudah tidak ada lagi teman-teman yang main ke rumah saya. Ya, semenjak kuliah, saya yang sering main ke rumah teman-teman kuliah saya. Sangat sedikit dari teman-teman saya yang mampir ke rumah, karena memang rumah saya bisa dibilang sangat jauh dari kampus. Selepas kuliah, satu-persatu teman saya sudah mulai berpencar dan memulai kehidupan barunya masig-masing. Otomatis skala bertemunya juga semakin sedikit. Kalaupun janjian harus ketemu, mungkin tidak main ke rumah salah seorang teman, melainkan berkumpul di cafe, warung kopi, atau tempat nongkrong lainnya.

Karena itu pula, akhirnya aktivitas saya jadi sangat monoton beberapa tahun terakhir ini : kerja, pulang, kerja pulang, begitu seterusnya. Aktivitas saya di rumah selepas pulang kerja tak lebih hanya membaca buku dan menonton film. Begitu pula saat weekend tiba, aktivitas di rumah masih berkutat pada membaca buku dan nonton film, ditambah durasi tidur yang lebih panjang. Entah kenapa saya tidak terlalu berselera dengan berinteraksi dengan tetangga. Untungnya masih ada ibuk saya yang masih sangat supel berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar, sehingga rumah saya pun masih menjadi “ruang publik” bagi rekan-rekan ibuk saya. Dan saya ? Saya jadi semakin tidak nyaman dengan rumah yang menjadi “ruang publik”.  Saya jadi lebih menikmati kesendirian. Bersama buku. Bersama film-film hasil “nyedot” di portal-portal penyedia download gratisan di internet.

Saya pun akhirnya mulai memimpikan rumah yang menjadi tempat privasi, meskipun rumah yang menjadi ruang publik tidak benar-benar hilang dari benak saya. Ah, mungkin jika bisa digabungkan akan jauh lebih baik. Kita bisa memiliki rumah yang menyediakan ruang publik, seperti di teras atau bisa juga bikin gazebo untuk nongkrong bareng orang-orang sekitar rumah. Sementara di dalam ruang-ruang rumah yang lain adalah ruang-ruang privasi yang tetap bisa kita nikmati saat kita buth esendirian. Namun, terlepas dari itu semua, ada yang jauh lebih penting, yaitu kapan saya bisa punya sendiri, karena percuma saja bergejolak tentang suasana rumah privat atau publik, jika rumahnya sendiri belum ada. Duh, sepertinya saya memang sudah terlalu lama menikmati suasana sendiri di rumah, jadinya pikiran sering melantur ke mana-mana . Hahaha…

Piknik…. Piknik….. Saya butuh piknik….

Leave a comment