Balas Dendam Ketika Baru Lulus Kuliah dan Mulai Bekerja

 

Ada sedikit rasa kehilangan ketika sudah menanggalkan status sebagai pelajar atau mahasiswa. Dengan menanggalkan status tersebut, berarti juga kehilangan fasilitas-fasilitas khusus di sekitar lingkungan sosial di sekitar kita. Naik angkot atau bus kota sudah mulai dengan harga normal, bukan lagi dengan harga pelajar yang nominalnya bisa sampai 50% harga normal. Begitupun acara-acara seminar yang ingin kita ikuti, sudah mulai dikenakan harga umum selepas kita melepaskan status mahasiswa kita.

Ketika kemudian meulai menjajaki dunia kerja dengan segala hiruk pikuknya, setidaknya fasilitas-fasilitas di lingkungan sosial — yang berhubungan dengan keringanan finansial– selama menjadi mahasiswa mampu tergantikan dengan sesuatu yang lebih istimewa. Apalagi kalau bukan gaji yang kita terima di setiap bulannya. Tentu, tak ada yang lebih membahagiakan selain memegang uang dari hasil keringat sendiri setelah sekian tahun hanya bisa minta dari kantong orang tua.

Di awal-awal masa kerja biasanya menjadi masa-masa balas dendam untuk membeli barang-barang yang dulu di masa menjadi pelajar atau mahasiswa ingin membeli suatu barang yang sangat diidam-idamkan namun tak kesampaian karena harganya yang tak mungkin terakomodasi dengan kantong pelajar/mahasiswa. Salah seorang teman kuliah saya yang hobi fotografi langsung membeli kamera impiannya yang harganya selangit sejak beberapa bulan bekerja selepas lulus kuliah. Begitupun juga seorang teman yang dari dulu pengen punya motor sport yang gagah, langsung menyisihkan beberapa bulan gajinya untuk DP motor ke dealer. Kakak saya yang hobi main gitar juga tak lupa menyisihkan sebagian dari gajinya untuk membeli gitar elektrik lengkap dengan sound effect dan amplifier-nya. Tak tanggung-tanggung, selama beberapa tahun di awal-awal ia bekerja, ia keranjingan untuk mengoleksi gitar, baik yang akustik ataupun elektrik. Sampai sekarang sudah lebih dari lima gitar yang dimilikinya. Juga bass dan keyboard. Ya, dia memang berambisi untuk memiliki studio musik sendiri dari dulu.

Sama seperti mereka, di awal-awal kerja, saya pun juga mulai menghabiskan gaji saya untuk barang-barang yang paling saya inginkan dari dulu. Namun barang yang saya inginkan bukanlah barang-barang yang memang benar-benar terkesan mewah seperti kamera, motor sport, ataupun gitar elektrik. Saya hanya ingin membeli buku-buku yang saya suka, karena ketika dulu masih menjadi mahasiswa dengan isi kantong sehari-harinya yang selalu kering, saya hanya bisa memandangi dan mengelus-ngelus deretan buku bagus yang ada di toko buku, lantaran harganya tak terjangkau dengan kondisi kantong saya. Terkadang, kalaupun saya benar-benar sangat menginginkan suatu buku, saya harus hemat uang makan selama berbulan-bulan terlebih dahulu. Tak jarang pula, ketika uang hasil berhemat berbulan-bulan tersebut sudah terkumpul, buku yang saya incar sudah tidak ter-display lagi di rak-nya. Sungguh Bedebah.

Mungkin buku-buku bagus yang mahal tersebut bisa saya dapatkan diperpustakaan, tapi masalahnya saya adalah orang yang tidak begitu suka pergi ke perpustakaan. Saya tidak terbiasa membaca buku dengan posisi duduk tegak di kursi dan meja perpustakaan. Saya lebih suka membaca dengan posisi leyeh-leyeh. Tak jarang juga terasa lebih nikmat jika sambil berbaring. Posisi yang katanya tidak sehat memang, tapi saya tetap tak peduli karena dengan membaca dalam posisi tersebut otak saya jauh lebih bisa mencapai gelombang teta dan alfa, yang menyebabkan saya semakin bisa menikmati aktivitas membaca. Meja dan kursi perpustakaan yang kaku adalah siksaan bagi saya. Jika ada perpustakaan yang menyediakan spot membaca yang bisa leyeh-leyeh atau sambil berbaring, mungkin cerita  hubungan saya dan perpustakaan bisa lain cerita.

Selain itu, saya adalah orang yang selalu lupa mengembalikan buku perpustakaan yang saya pinjam, sehingga sering menjadi langganan membayar denda ke perpustakaan. Jangka waktu pengembalian adalah faktor utama kenapa saya selalu terlambat. Selalu saja saya tak bisa menuntaskan buku yang saya pinjam dalam tenggat waktu yang ditentukan oleh perpustakaan, sementara saya adalah orang yang selalu malas datang ke perpustakaan hanya untuk urusan memperpanjang masa peminjaman.

Saya adalah pembaca buku yang lambat. Dalam sebulan bisa menghabiskan dua buku saja sungguh sudah sangat istimewa. Meski beberapa kali pernah mengikuti training kiat membaca cepat, namun tetap saja tak pernah ada satupun dari teknik tersebut yang saya gunakan, karena bagi saya membaca adalah aktivitas yang harus dinikmati seperti kita menikmati makanan. Beda lagi jika kita makan hanya untuk yang penting kenyang, maka aktivitas menikmati rasa tak menjadi begitu penting di dalamnya. Begitu pula dengan aktivitas membaca, yang bagi saya bukan hanya sekedar untuk memasukkan informasi dan wacana yang ada dalam buku ke dalam otak kita, tapi aktivitas menikmati rasa kata per kata yang ada dalam buku tersebut.

20065773_1165149870256345_2556755050185621504_n(1)

Buku di rumah

Karena itulah, dari dulu saya selalu memimpikan memiliki perpustakaan sendiri. Yang bisa membaca dengan posisi apapun di dalamnya dan tanpa dikejar-kejar deadline pengembalian. Maka, ketika sudah pegang uang setiap bulannya dari keringat sendiri, toko buku adalah tempat yang pertama saya kunjungi setelah gajian. Ya, awal bulan adalah masa-masa di mana saya membalaskan dendam. Saya tak pernah pikir panjang ketika melihat buku yang saya suka ataupun yang sekadar saya kira bagus. Pun dengan buku-buku terbaru yang kelihatannya aduhai, kini tak lagi hanya saya elus-elus seperti dulu, tapi langsung saya boyong ke kasir. Sempat dalam satu bulan, belanja buku saya sampai nominal jutaan. Saya seperti sedang kalap membelas dendam dengan cara yang sangat membabi buta. Beberapa tahun bekerja, akhirnya saya mampu mewujudkan impian saya untuk memiliki perpustakaan sendiri. Meskipun tidak terlalu besar, tapi saya cukup senang bisa memiliki beberapa rak dengan buku-buku berderet di dalamnya.

Meski demikian, kebiasaan membalas dendam membeli buku sampai kalap seakan menjadi candu dalam diri saya. Mungkin karena  itulah banyak petuah-petuah yang mengatakan bahwa apapun bentuknya, balas dendam itu bukanlah sesuatu yang baik. Dengan membalas dendam membabi buta tersebut, malah justru membuat saya lupa untuk membacanya. Semakin saya sering membeli buku, semakin sedikit buku yang berhasil saya baca dengan tuntas. Bagaimana bisa tuntas jika banyak buku yang baru dibeli bulan ini saja belum selesai dibaca sampai akhir bulan datang. Lalu bulan berikutnya datang lagi buku-buku baru yang tentuya juga sangat menggoda untuk dibaca. Begitu seterusnya.

Saya jadi lupa bahwa esensinya membeli buku itu adalah untuk dibaca, bukan untuk ditumpuk. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa buku adalah furniture yang sangat seksi dan bergengsi ketika ditumpuk. Ya, semakin ke sini saya tersadar bahwa buku juga bisa sama menaikkan gengsi, sama halnya dengan pakaian mahal, motor sport yang mewah, kamera berkelas yang gagah, dan gitar elektrik yang bisa menambah pesona ketika lihai memainkannya. Dengan banyak buku di rumah, ternyata mampu meningkatkan gengsi dan kegagagahan kita, karena orang yang melihat deretan buku-buku di rumah kita langsung mencitrakan kita sebagai orang yang cerdas dan berilmu tinggi. Puja-puji pun bisa juga kita dapatkan sama halnya ketika kita memiliki barang-barang mewah. Buku ternyata juga bisa menentukan status sosial kita. Saya tak tahu harus senang atau tidak dengan hal ini.

 

2 thoughts on “Balas Dendam Ketika Baru Lulus Kuliah dan Mulai Bekerja

  1. Mas Asril. rekom 3 buku yang wajib dibaca mahasiswa tingkat akhir pada saat liburan panjang ini dong. Personally, aku tertarik di bidang pendidikan, kepemudaan, parenting. Nah loh. haha

    • Buku-buku Munif Chatib sudah pernah baca : Sekolahnya manusia, gurunya manusia, orang tuanya manusia, dll.

Leave a comment